Tujuh Kaidah dalam Beragama [2]




Al Syekh rahimahullah berkata: 

Jika Allah taala memerintahkan seorang hamba dengan suatu perkara, maka wajib atasnya untuk mengerjakannya. Dalam masalah ini ada tujuh hal: …

Pertama: Ilmu

Al Syekh rahimahullah memulai dengan ilmu yang menjadi awal sebagai urutan dalam kaidah ini. Maka harus memulai sesuatu itu dengan ilmu sebelum berkata dan berbuat sebagaimana Allah taala berfirman, 

فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ 

Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin …” (QS Muhammad [47]: 19) 

Dalam ayat di atas dimulai dengan ilmu sebelum berkata dan berbuat. Mengapa ilmu didahulukan? Sebab dengan ilmu, seseorang dapat membedakan antara yang hak dan batil, petunjuk dan kesesatan, kekufuran dan keimanan, sunah dan bidah. Tidaklah mungkin dapat membedakan itu semua kecuali dengan memiliki ilmu tentangnya. 

Yang dimaksud dengan ilmu di sini adalah ilmu yang disandarkan dari kitabullah jalla wa ‘ala dan sunah Nabinya shalawatullahi wasalamuhu ‘alaihi. Oleh karena itu, jika seseorang mengambil ilmu yang bersandarkan dari keduanya dia tidak akan tersesat. Dia akan berada di atas hujjah yang terang dan jalan yang jelas. 

Jadi, kewajiban pertama bagi seorang hamba terhadap apa yang Allah perintahkan kepadanya adalah mengilmuinya. Yakni mengilmui tentang Allah dan setiap hal yang Allah perintahkan dan yang dilarang-Nya. 

Banyak nash-nash yang berkaitan tentang orang yang berilmu. Hal ini menunjukkan bahwa orang yang berilmu itu memiliki keistimewaan dan kedudukan yang tinggi, sampai-sampai dikatakan oleh ulama bahwa sudah sepatutnya bagi setiap muslim untuk senantiasa setiap harinya memohon ilmu. Oleh sebab itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa memohon kepada Allah agar Dia memberikannya ilmu. Jikalau selain ilmu itu lebih baik, niscaya beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam akan meminta kepada-Nya, namun yang senantiasa dipinta adalah ilmu. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu berdoa, 

اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا، وَرِزْقًا طَيِّبًا، وَعَمَلاً مُتَقَبَّلاً 

Allohhumma inniy as-aluka ‘ilman naafi’an wa rizqon thoyyiban wa ‘amalan mutaqabbalan 

Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepadmu ilmu yang bermanfaat, rezeki yang baik, dan amal yang diterima.” (Sahih. HR Ibnu Majah) 

Inilah tiga hal yang beliau pinta setiap hari bakda salat Subuh. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai harinya dengan memohon tiga hal, (1) ilmu yang bermanfaat, (2) rezeki yang baik, dan (3) amal yang diterima. Beliau memulainya dengan ilmu. Sebab dengan ilmu akan diketahui mana rezeki yang baik atau halal dan haram pun demikian amalan yang seperti apa yang dapat diterima. Inilah pentingnya ilmu, sudah sepatutnya setiap muslim meminta kepada Allah taala ilmu. 

Jadi, jika tidak ada ilmu atau tidak mendahulukan ilmu maka tidak akan terwujud rezeki yang baik maupun amalan yang diterima. Sehingga ilmu menjadi asas untuk terwujudnya sesuatu dengan baik dan benar. [ ]

Wallahu ‘alam. 

✍️ Abu ‘Aashim Nanang Ismail al-Atsari 

📗 Diadaptasi dari pelajaran syaraḥ Risālah Wājibunā Naḥwa mā ‘amarallāh yang disampaikan oleh al-Syekh Dr. Abdurrazzaq bin Abdil Muhsin al-Abbad al-Badr hafizhahumullah.

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Tujuh Kaidah dalam Beragama [2]"

Posting Komentar