Perlukah Mentakyin Niat Salat?
Salah satu syarat sahnya salat ialah niat. Niat secara bahasa bermakna al-Qaṣdu, menyengaja, yakni meneguhkan hati untuk melakukan sesuatu [1]. Sedangkan secara istilah syar’i bermakna,
عَزْمُ الْقَلْبِ عَلَى فِعْلِ الْعِبَادَةِ تَقَرُّبًا إلَى اللَّهِ تَعَالَ
meneguhkan hati untuk melakukan ibadah dalam rangka pendekatan diri kepada Allah Ta’ala [2].
Al-Muwaffaq (w. 620H) rahimahullāh berkata, “Kami tidak menemukan pendapat di kalangan para ulama mengenai wajibnya niat dalam salat dan bahwa salat tidak sah tanpa niat.” [3]
Dalil yang menunjukkannya adalah firman Allah,
وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ
“Dan tidaklah mereka diperintahkan kecuali agar mereka beribadah kepada Allah dengan memurnikan keikhlasan kepada-Nya dalam menjalankan agama yang lurus.” (QS al-Bayyinah: 5)
Ikhlas merupakan bagian dari amalan hati, yakni niat serta keinginan yang hanya ditujukan kepada Allah semata. Dalil yang kedua adalah sabda Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam,
إنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
“Sesungguhnya amal itu dengan niat dan sesungguhnya bagi setiap orang apa yang diniatkannya.” (HR Al-Bukhari dan Muslim)
Makna niat adalah menyengaja, sedangkan tempatnya adalah di hati. Jika niat ini dilafalkan, maka ucapan tersebut berfungsi sebagai penguat [4].
Setelah kita mengetahui makna niat secara bahasa dan istilah serta tempatnya, maka perlukah seseorang mentakyin yakni menentukan niat secara jelas salatnya apakah itu salat zuhur atau asar; salat wajib atau sunah?
Atau justru tidak perlu?
Berikut saya nukilkan perkataan para ulama Hanabilah dalam masalah ini.
‘Ala’uddin Al-Mardawi (w. 885H) berkata,
قَوْلُهُ (وَيَجِبُ أَنْ يَنْوِيَ الصَّلَاةَ بِعَيْنِهَا، وَإِنْ كَانَتْ مُعَيَّنَةً، وَإِلَّا أَجْزَأَتْهُ نِيَّةُ الصَّلَاةِ) الصَّحِيحُ مِنْ الْمَذْهَبِ: أَنَّهُ يَجِبُ تَعْيِينُ النِّيَّةِ لِصَلَاةِ الْفَرْضِ وَالنَّفَلِ الْمُعَيَّنِ، وَهُوَ الْمَشْهُورُ وَالْمَعْمُولُ بِهِ عِنْدَ الْأَصْحَابِ
“Perkatannya (dan bahwasanya wajib niat salat dengan menentukannya, secara jelas, dan jika tidak cukup niat salat) yang benar menurut mazhab: bahwasanya wajib menentukan niat untuk salat wajib dan sunah secara jelas. Ini adalah pendapat yang masyhur dan diamalkan oleh para pengikut mazhab Hambali.” [5]
Al-Buhuti (w. 1051H) rahimahullāh berkata,
فيجب أن ينوي عين صلاة معينة فرضا كانت كالظهر والعصر أو نفلا كالوتر والسنة الراتبة
“(Maka wajib menentukan niat salat secara jelas) baik itu salat wajib seperti salat zuhur dan asar, atau salat sunah seperti salat witir dan sunah ratibah.” [6]
Al-Majduddin (w. 652H) berkata
يشترط النية للصلاة ويجب تعيينها للمكتوبة والنفل المعين
“Disyaratkan niat untuk salat dan wajib menentukannya baik untuk salat wajib dan sunah secara jelas.” [7]
Lebih lengkap terkait masalah ini Al-Muwaffaq (w. 620H) mengatakan,
“Apabila salat yang dilakukan adalah salat wajib, maka niat salat yang wajib itu harus jelas; zuhur, asar, atau lainnya. Dengan demikian seseorang dalam kaitannya dengan salat wajib membutuhkan niat untuk dua hal, yakni melakukan dan menentukan.
Mengenai niat fardu, para ulama mazhab Hambali berbeda pandangan. Sebagian mengatakan bahwa seseorang dalam salat tidak membutuhkan niat fardu karena niat penentuan (takyin) sudah mencukupi. Salat zuhur misalnya, sudah tentu adalah salat yang diwajibkan.
Ibnu Hamid mengatakan bahwa niat salat wajib harus dilakukan karena salat yang ditentukan bisa juga adalah salat sunah seperti salat zuhur bagi anak kecil atau salat wajib yang diulang.
Dengan demikian, niat membutuhkan tiga hal: perbuatan, penentuan, dan niat fardu. Makna ini sudah tersirat dalam perkataan Imam al-Khiraqi , “Dengan takbir seseorang niat salat yang diwajibkan.” Maksudnya yang diwajibkan dan ditentukan. Jadi huruf alif dan lam dalam akta al-maktūbaḥ (yang diwajibkan) adalah untuk sesuatu yang sudah diketahui. Yaitu salat wajib yang sedang tiba waktunya bagi seseorang.
Al-Qadhi Abu Ya’la mengatakan, perkataan al-Khiraqi memberi pengertian bahwa dalam berniat seseorang tidak membutuhkan takyin (penentuan). Apabila dia sudah niat fardu, maka secara langsung ia niat salat yang sedang akan dilakukannya.
Pendapat yang benar dalam masalah ini adalah yang mengharuskan adanya niat takyin (penentuan), sebab alif dan lam di sini berfungsi untuk perkara yang sudah diketahui sebagaimana yang kami jelaskan. Adanya salat yang sedang akan dilakukan belumlah mencukupi niat. Jadi, mendatangi salat semata tidak mencukupi niat salat fardu. Terkadang ada beberapa salat yang dilakukan seseorang tanpa adanya takyin [8]. Salat tersebut tidak jelas, apakah salat zuhur atau asar, misalnya.” [9]
Wallāhu ‘alam.
Pembelajar mazhab Hanbali
✍️ Abu ‘Aashim Nanang Ismail al-Hanbali
📌 Footnote:
[1] Ar-Raud al-Murbi’ Syarh Zād al-Mustaqni’ hal. 83.
[2] Idem dan Kasyāf al-Qinā’ ‘an Matnil Iqna’ juz 1 hal. 313.
[3] Al-Mughni juz 1 hal. 336.
[4] Idem.
[5] Al-Inṣāf fī Ma’rifati ar-Rājiḥ min al-Khilaf juz 2 hal. 19.
[6] Ar-Raud al-Murbi’ Syarh Zād al-Mustaqni’ hal. 84.
[7] Al-Muḥarrar juz 1 hal 52.
[8] Seperti salat sunah mutlak.
[9] Al-Mughni juz 1 hal. 336.
📗 Referensi:
- Al-Inṣāf fī Ma’rifati ar-Rājiḥ min al-Khilaf karya ‘Ala’uddin Al-Mardawi. Dār Iḥyā’ al-Turāṡ al-‘Arabiy.
- Al-Mughni karya Al-Muwaffaq Ibnu Qudamah al-Maqdisi. Maktabah al-Qāhirah, Mesir.
- Al-Muḥarrar karya Al-Majduddin Abul Barakat Abdissalam Ibnu Taimiyah. Maktabah al-Ma’ārif, Riyadh.
- Ar-Raud al-Murbi’ Syarh Zād al-Mustaqni’ karya Manshur bin Yunus al-Buhuti. Mu’asasah ar-Risalah, Beirut.
- Kasyāf al-Qinā’ ‘an Matnil Iqna’ karya Manshur bin Yunus al-Buhuti. Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut.
Komentar
Posting Komentar