Antara Hujan, Wahyu, dan Hati Manusia
Hujan turun deras membasahi bumi Gagak Rimang. Airnya mengalir memberikan asupan kepada tetumbuhan dan lainnya untuk terus melanjutkan hidup; air hujan tersebut memberikan manfaat. Ada sebagian air hujan itu yang menjadi buih kemudian hilang; ia tak memberi manfaat apapun juga.
Di dalam Al-Qur`an, Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan perumpamaan bagi wahyu yang diibaratkan seperti air dan hati manusia yang diibaratkan seperti lembah.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
أَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَسَالَتْ أَوْدِيَةٌ بِقَدَرِهَا فَاحْتَمَلَ السَّيْلُ زَبَدًا رَابِيًا ۚ وَمِمَّا يُوقِدُونَ عَلَيْهِ فِي النَّارِ ابْتِغَاءَ حِلْيَةٍ أَوْ مَتَاعٍ زَبَدٌ مِثْلُهُ ۚ كَذَٰلِكَ يَضْرِبُ اللَّهُ الْحَقَّ وَالْبَاطِلَ ۚ فَأَمَّا الزَّبَدُ فَيَذْهَبُ جُفَاءً ۖ وَأَمَّا مَا يَنْفَعُ النَّاسَ فَيَمْكُثُ فِي الْأَرْضِ ۚ كَذَٰلِكَ يَضْرِبُ اللَّهُ الْأَمْثَالَ
“Allah telah menurunkan air (hujan) dari langit, maka mengalirlah air di lembah-lembah menurut ukurannya, maka arus itu membawa buih yang mengambang. Dan dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api untuk membuat perhiasan atau alat-alat, ada (pula) buihnya seperti buih arus itu. Demikianlah Allah membuat perumpamaan (bagi) yang benar dan yang bathil. Adapun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya; adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi. Demikianlah Allah membuat perumpamaan-perumpamaan.” (QS Al-Ra’d: 17)
Dalam Jâmi’ Al-Masâ`il (hal. 255–256) Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyampaikan bahwa perumpamaan di atas ditinjau dari dua sisi:
Pertama, dari sisi kemampuan hati manusia dalam menyerap ilmu yang terdapat dalam Al Qur`an. Hati manusia ada yang dapat menyerap ilmu yang banyak, ada juga yang hanya menyerap ilmu yang sedikit.
Kedua, dari sisi kemurnian ilmu yang masuk ke dalam hati manusia. Ilmu yang turun kepada hati manusia, ia akan membawa sesuatu dari syahwat dan syubhat tatkala ilmu itu bercampur dengan hawa nafsu, maka ia seperti buih yang tidak bermanfaat. Lalu Allah menjelaskan, bahwa buih akan hilang sebagai sesuatu yang tidak ada harganya. Ada pun yang bermanfaat, ia akan tetap di bumi, seperti halnya ilmu yang jauh dari syubhat dan syahwat maka ia akan memberikan manfaat bagi pemiliknya dan mendorong untuk melakukan amal saleh yang sesuai dengan ilmunya tersebut. Demikian menurut beliau dengan sedikit penambahan dari saya pada kalimat terakhir dalam paragraf ini.
Maka dari itu, ilmu Allah berupa wahyu yang bersumber dari Al-Qur`an atau As-Sunnah yang shahih sangat membutuhkan hati yang lapang, kuat dalam iman, serta bersih dari pengaruh hawa nafsu. Itulah ilmu yang akan bermanfaat.
Sebaliknya hati yang sempit, ragu, dan lemah dalam keimanan akan menyerap sedikit ilmu. Pun demikian dengan lmu yang bercampur dengan syahwat dan syubhat tidak akan bermanfaat, justru ilmu seperti itu akan menyesatkan bagi pemiliknya ataupun orang lain.
Oleh karena itu, hendaknya kita senantiasa membersihkan hati dari hawa nafsu ketika mencari ilmu, menghadirkan terus keikhlasan dan keinginan untuk mendapatkan kebenaran dan meniti jalan keselamatan dengannya.
Senada dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala di atas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun pernah membuat perumpamaan yang sama yang diriwayatkan oleh Sahabat Abu Musa al-Asy’ari radhiallahu ‘anhu.
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ مَثَلُ مَا بَعَثَنِي اللَّهُ بِهِ مِنَ الْهُدَى وَالْعِلْمِ، كَمَثَلِ غَيْثٍ أَصَابَ أَرْضًا، فَكَانَ مِنْهَا طَائِفَةٌ قَبِلَتِ الْمَاءَ فَأَنْبَتَتِ الْكَلَأَ وَالْعُشْبَ الْكَثِيرَ، وَكَانَتْ مِنْهَا أَجَادِبَ أَمْسَكَتِ الْمَاءَ، فَنَفَعَ اللَّهُ بِهَا النَّاسَ، فَشَرِبُوا وَرَعَوْا وَسَقَوْا وَزَرَعُوا، وَأَصَابَتْ طَائِفَةً مِنْهَا [أُخْرَى] إِنَّمَا هِيَ قِيعَانٌ لَا تُمْسِكُ مَاءً وَلَا تُنْبِتُ كلأ فذلك مثل من فَقه فِي دِينِ اللَّهِ ونَفَعه اللَّهُ بِمَا بَعَثَنِي وَنَفَعَ بِهِ، فَعَلِم وَعَلَّم، وَمَثَلُ مَنْ لَمْ يَرْفَعْ بِذَلِكَ رَأْسًا وَلَمْ يَقْبَلْ هُدَى اللَّهِ الَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ
“Sesungguhnya perumpamaan petunjuk dan ilmu yang diutuskan oleh Allah kepadaku (untuk menyampaikannya) sama dengan hujan yang menyirami bumi. Sebagian di antaranya adalah lahan yang dapat menerima air, lalu ia dapat menumbuhkan tumbuh-tumbuhan dan rerumputan yang banyak Dan sebagian di antaranya adalah lahan yang tandus dapat menampung air, sehingga melaluinya Allah memberikan manfaat kepada manusia; mereka dapat minum airnya, menggembalakan ternaknya, memberi minum ternaknya, dan bercocok tanam. Dan hujan itu menyirami pula sebagian tanah yang tiada lain hanyalah berupa rawa, tidak dapat menerima air, dan tidak dapat menumbuhkan tetumbuhan. Hal tersebut merupakan perumpamaan orang yang mengerti agama Allah dan mendapatkan manfaat dari Allah melalui apa yang diutuskan kepadaku serta memberikan manfaat itu (kepada orang lain), dialah orang yang mengetahui (agama Allah) dan mengajarkannya (kepada orang lain). Dan perumpamaan tentang orang yang tidak mau mengangkat kepalanya (tidak mau) menerima hal tersebut, dan menolak hidayah Allah yang aku diutus untuk menyampaikannya.” (Shahih. HR Al-Bukhari dan Muslim)
Masih dalam referensi yang sama, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata mengomentari hadits di atas, “Dalam hadits ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membuat perumpamaan tentang ajaran yang dibawanya dengan air yang turun ke bumi.
Beliau memperumpamakan hati-hati manusia dengan tanah, dan memperumpamakan petunjuk dan ilmu dengan air yang Allah Ta’ala turunkan ke bumi.
Manusia pun terbagi menjadi tiga: (1) orang-orang yang mendengar, paham dan mendapat ilmu; (2) orang-orang yang menghapalnya dan menyampaikannya kepada orang lain sehingga mereka mendapat manfaat darinya; dan (3) orang-orang yang tidak termasuk golongan pertama dan tidak juga golongan yang kedua.”
Semoga kita termasuk orang-orang-orang yang hatinya mudah menerima wahyu dan ilmu, sehingga kedua hal tersebut menjadi lentera untuk menerangi jalan yang kita lalui di dunia yang sementara ini. Tak hanya kita, pun dengan orang-orang di sekitar kita dapat merasakan manfaat darinya.
Hujan belum juga kunjung ‘tuk reda. Sedangkan malam sudah mulai menyelimuti. Apa yang sedikit ini semoga bermanfaat adanya. Dan ilmu senantiasa ada di hati.
Cepu, 6 Syawal 1439
Abu 'Aashim al-Atsari
Komentar
Posting Komentar