Ushul Istinbath dalam Mazhab Hanbali [7]

 Istishhab


Adalah melestarikan penetapan yang telah ditetapkan sebelumnya atau peniadaan apa yang tidak ada sebelumnya. Atau yang dimaksud adalah tetap pada hukum asal dalam hal yang belum diketahui ketetapannya atau ketiadaannya dnegan hukum syar’i. (Lihat: Majmu’ Fatawa, 11/342).

Dan istishhab adalah hujjah menurut Imam Ahmad rahimahullahu ketika tidak ada dalil yang berupa nash, atau ijma’, atau perkataan sahabat atau fatwa mereka, atau qiyas; sehingga tidak boleh menggunakan istishhab sebagai dalil kecuali ketika tidak ada penukilan”. (Lihat: Al-‘Uddah fi Ushul Fiqih, 4/1262 – 1263; Al-Musawwadah, hal 488; Al-Madkhal ila Madzhab Imam Ahamd, hal. 144; Mafatih al-Fiqh al-Hanbali, 1/382; dan Ushul Madzhab Imam Ahmad, hal. 423).


Dan Imam Ahmad bin Hanbal telah mengisyaratkan tentang pendapat berhujjah dengan istishhab dalam riwayat putranya Shalih, dan Yusuf bin Musa, yang menukil perkataannya: “Salab tidak di bagi menjadi seperlima bagian”. Kami tidak mendengar bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membagi salab menajdi seperlima. (Lihat: Al-‘Uddah fi Ushul Fiqih, 4/1263).


Salab yaitu apa yang dikendarai oleh prajurit baik kuda ataupun tunggangan lainnya, juga persenjataan yang dibawa seperti pedang, dan apa yang dikenakan seperti baju besi dan pakaian, serta perlengkapan lain seperti tali kekang, pelana, kancing, dan lainnya. (Lihat:Mu’jamul Lughah Fuqaha, hal. 296).


Al-Qadhi Abu Ya’la rahimahullahu berkata: “Maka ketiadaan dalil syar’i menjadikannya tetap pada hukum asal tentang larangan membaginya menjadi seperlima bagian dan menafikan adanya hak atasnya”. ((Lihat: Al-‘Uddah fi Ushul Fiqih, 4/1276).


Dan Ibnu Taimiyah rahimahullahu telah mengometari pendapat Al-Qadhi Abu Ya’la dan barkata: “Adapun yang pertama; sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallammemutuskan bahwa yang membunuh berhak mengambil salab, dan lafaz ini mencakup semua jenis salab, dan ini adalah berpegang pada keumuman lafaz dan ia lebih kuat / ablagh datipada istishhab”. (Lihat: Al-Musawwadah, hal. 489).


Al-Atsram dan Ibnu Badina menukil pendapat Imam Ahmad rahimahullahu tentang masalah perhiasan, jika berupa barang temuan apakah penemu berhak atasnya, maka ia berkata: “Sesungguhnya hadits yang ada hanya mengenai dinar dan dirham”. Al-Qadhi Abu Ya’la rahimahullahu berkata: “Maka tidak boleh memiliki perhiasan temuan tersebut dan menetapkan hukum asalnya, yaitu tidak ada kepemilikan perhiasan temuan, karena tidak ada dalil tentang hal itu, dan dalil yang ada hanyalah seputar dinar dan dirham”. (Lihat: Al-‘Uddah fi Ushul Fiqih, 4/1276).[]


Bersambung …


Sumber: Empat Madzhab Fiqih. Penyusun Unit Kajian Ilmiah Departemen Fatwa Kuwait, hal. 183.


Komentar

Postingan Populer