Mengambil Hadits Mursal dan Lemah sebagai Dalil Jika Tidak Ada Dalil yang Menyanggah Persoalan Tersebut
Hadits mursl adalah hadits yang sanad terakhirnya setelah tabi’in terputus. Atau apa yang dinisbatkan olrh tabi’in kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam; di mana seorang tabi’in mengatakan: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda”. Dan ini adalah pengertian hadits mursal menurut ahli hadits.
Sedangkan menurut ahli ushul fiqih; hadits mursal berlaku baik untuk hadits yang perawinya kalangan tabi’in maupun selain tabi’in. Mereka berpendapat bahwa hadits mursal ialah seseorang selain Nabi shallallahu ‘aaihi wa sallam pada setiap masa mengatakan: “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda”. (Lihat: At-Tahbir Syarh at-Tahrir, 5/2136; Syarh al-Kaukab al-Munir, 2/574; dan sebagainya).
Dan yang dimaksud dengan hadits dhaif (lemah) adaah hadits yang sisi kelemahannya tidak parah; yang mana ia tidak bathil, tidak munkar, serta tidak ada unsur kebohongan di dalamnya.
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah rahimahullahu berpendapat bahwa kadang yang dimaksud dengan hadits dhaif juga mencakup bagian dari hadits shahih yang disebut hadits hasan. (Lihat: I’lamul Muwaqqi’in, 1/31).
Dan ini perlu dikritisi; kecuali jika yang dimaksud adalah hasan li ghairihi, dan bukan hasan li dzatihi; karena bagian yang kedua (hasan li dzatihi) ini wajib diamalkan jika tidak ada hadits yang lebih kuat yang menentangnya, dan beramal dengan hadits ini bukan kekhususan Imam Ahmad rahimahullahu saja, tetapi imam-imam mujtahid lainnya. Dan di antara yang menguatkan pendapat bahwa yang dimaksud Imam Ahmad rahimahullahu dengan hadits dhaif adalah hadits yang derajatnya di bawah hadits hasan adalah apa yang diriwayatkan oleh Muhannan: “Ahmad berkata: “Semua manusia sederajat/sekufu, kecuali tukang tenun, tukang bekam, dan tukang sapu”. Kemudian dikatakan kepada Ahmad: “Engkau memakai hadits: ‘Semua manusia sederajat/sekufu, kecuali tukang tenun, tukang bekam, dan tukang sapu’, sementara engkau menganggap hadits ini lemah?” Maka ia berkata: “Sesungguhnya kami hanya menganggap lemah sanadnya, namun kami beramal dengannya.”; serta hadits-hadits lain yang diamalkan oleh Imam Ahmad rahimahullahu meski menurutnya sanad hadits tersebut lemah, seperti hadits Hakim bin Jubair tentang orang yang halal menerima sedekah, dan hadits Ma’mar dari Az-Zuhri dari Salim dari Ibnu Umar tentang Ghailan yang masuk Islam dan saat itu ia memiliki sepuluh orang istri. Karena itulah Al-Qadhi Abu Ya’la rahimahullahusetelah menyebutkan contoh-contoh ini mengatakan: “Maksud dari perkataan Ahmad: (hadits dhaif) adalah menurut metode ahli hadits; karena mereka menganggap suatu hadits lemah dengan standar yang menurut ahli fiqih hal tersebut tidak menyebabkan hadits menjadi dhaif; seperti irsal dan tadlis, dan tambahan redaksi dari seorang perawi dalam sebuah hadits yang tidak diriwayatkan oleh jamaah perawi lain, dan ini terdapat dalam kitab mereka: Hanya fulan seorang diri yang meriwayatkan ini. Maka pernyataan: (Hadits ini dhaif) adalah dari sisi lain. Dan pernyataannya: (Hadits ini diamalkan) maknanya adalah: menurut metode ulama fiqih”. (Lihat: Al-‘Uddah fi Ushul Fiqh, 3/941; dan Al-Musawwadah, hal. 246 – 249).
Jika dalam suatu masalah belum menemukan sebuah hadits yang menyanggahnya, tidak juga perkataan sahabat, atau ijma’ yang mengatakan sebaliknya, maka menurut Imam Ahmad rahimahullahu beramal dengan hadits lemah lebih baik daripada qiyas. (Lihat: Al-Musawwadah, hal. 250; dan I’lamu; Muwaqqi’in, 1/31)
Imam Ahmad rahimahullahu berkata sebagaimana dalam riwayat Al-Atsram: “ … bisa jadi dalam sanad hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ada masalah, dan kami menggunakannya sebagai hujjah jika tidak ada hadits yang lebih kuat yang mengatakan kebalikannya. Dan bisa jadi kami menggunakan hadits mursal jika tidak ada hadits yang menentangnya yang kedudukannya lebih kuat darinya”. (Diriwayatkan oleh Al-Khatib Al-baghdadi dalam Al-Faqih wal Mutafaqqih, 1/220; dan Al-Musawwadah karya Ibnu Taimiyah, hal. 248).
Dan Imam Ahmad rahimahullahu mengatakan dalam riwayat Al-Fadhl bin Ziyad: “Hadits-hadits mursal riwayat Said bin al-Musayyib adalah hadits mursal yang paling shahih. Dan hadits mursal Ibrahim tidak bermasalah. Dan tidak ada hadits mursal yang lebih lemah dari hadits mursal Al-Hasan dan Atha’ bin Abi Rabbah; karena keduanya menambil dari sembarang orang.” (Lihat: Al-‘Uddah fi Ushul Fiqih; 3/907; dan Al-Musawwadah, hal. 227).
Dan diantara yang menunjukkan beliau berhujjah dengan hadits dhaif adalah apa yang dinukil oleh putranya, Abdulllah, bahwa Imam Ahmad rahimahullahu berkata: “Metodeku adalah aku tidak menyalahi hadits dhaif jika dalam bab ini tidak ada dalil lain yang menentangnya.” (Lihat: Syarh Al-Kaukab Al-Munir, 2/573).
Abdullah juga meriwayatkan: “Aku mendengar ayahku berkata: ‘Hadits dhaif lebih aku sukai daripada sekedar pendapat semata.’”
Dan ia juga berkata: “Aku bertanya pada ayah tentang seseorang yang berada di suatu negeri dan ia tidak menjumpai kecuali seorang perwai hadits yang tidak jelas apakah haditsnya shahih atau ada cela, dan sekelompok ahli ra’yi, kemudian ia mengalami sebuah kasus. Maka ayah berkata: ‘Hendaklah ia bertanya pada ahli hadits, dan jangan bertanya pada ahli ra’yu. Hadits dhaif lebih kuat daripada pendapat.’” (Lihat: I’lamul Muwaqqi’in, 1/77; dan Al-‘Uddah fi Ushul Fiqih, 3/938 – 940 untuk menetahui lebih lanjut tentang riwayat-riwayat yang menunjukan bahwa Imam Ahmad menggunakan hadits dhaif sebagai dalil).[]
Bersambung …
Sumber: Empat Madzhab Fiqih. Penyusun Unit Kajian Ilmiah Departemen Fatwa Kuwait, hal. 179 – 181.
Belum ada tanggapan untuk "Ushul Istinbath dalam Mazhab Hanbali [4] "
Posting Komentar