Ushul Istinbath dalam Mazhab Hanbali [3]

 Fatwa Sahabat Jika Tidak Ada yang Menentangnya


Jika Imam Ahmad rahimahullahu menemukan fatwa dari beberapa sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak diketahui ada yang menentangnya, maka ia menggunakannya dan tidak beralih pada yang lain, dan ia mendahulukannya atas pendapat, amal –bisa jadi yang dimaksud di sini ialah amal penduduk Madina–, qiyas, hadits mursal, dan hadits dhaif; bahkan sebagian pengikutnya menganggapnya sebagai ijma. (Lihat: Al-‘Uddah fi Ushul Fiqh karya Al-Qadhi Abu Ya’la, 4/1170).


Abu Daud as-Sijistani rahimahullahu berkata, “Ahmad bin Hanbal rahimhullahu berkata: ‘Aku tidaklah memberikan jawaban atas sebuah permasalahan kecuali dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jika aku menemukan jalan untuk itu, atau dari sahabat, atau dari tabi’in. Jika aku mendapati hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, aku tidak berpaling kepada yang lain. Dan jika aku belum mendapatkan hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka dari khulafa’ rasyidin yang telah diberi petunjuk. Dan jika belum mendapatkan dari mereka, maka dari para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang paling senior. Dan jika masih belum menjumpai, maka dari kalangan tabi’in, lalu dari tabi’ut tabi’in …”. (Lihat: Al-Musawwad karya Ibnu Taimiyah, hal. 301).

Muhammad bin al-Hakam rahimahullahu meriwayatkan perkataan Imam Ahmad rahimahullahu: “Jika para sahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam berselisih paham, salah seorang dari mereka mengambil dari sahabat nabi yang lain, maka kebenaran menurut Allah adalah satu, dan seorang hendaknya berijtihad dan ia tidak tahu apakah ia benar atau salah, dan demikianlah Umar radhiallahu ‘anhu telah berkata: ‘Demi Allah, Umar tidak tahu apakah benar atau salah’. Imam Ahmad rahimahullahuberkata: “Dan jika para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berbeda pendapat, dan seorang berpegang pada perkataan sahabat Nabi shallalahu ‘alaihi wa sallam, dan yang lain memegang perkataan tabi’in, maka yang benar ada pada perkataan sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan siapa yang berpendapat dengan perkataan tabi’in, maka penafsirannya salah.” (Lihat: Al-Fatawa Al-Kubra, 6/216, 217).


Jika para sahabat berselisih pendapat dalam sebuah persoalan, maka dipilih perkataan mereka yang paling dekat dengan nash kitab dan sunnah, dan jika belum dijumpai salah satu perkataan yang sesuai dengan nash, maka perbedaan tersebut disampaikan, tanpa memastikan kebenaran salah satu pendapat. (Lihat: Al-‘Uddah fi Ushul Fiqh, 4/1105; danI’lamul Muwaqqi’in, 1/31).


Al-Murrudzi rahimahullahu meriwayatkan dari Imam Ahmad rahimahullahu: “Jika sahabat berselisih pendapat, maka dilihat salah satu dari dua pendapat yang paling dekat dengan kitab dan sunnah.” (Lihat: Diriwayatkan juga dari yang semisal ini dari jalur Yusuf bin Musa, dan Abul harits. Lihat: Al-‘Uddah fi Ushul Fiqh, 4/1105).


Bersambung …


Sumber: Empat Madzhab Fiqih. Penyusun Unit Kajian Ilmiah Departemen Fatwa Kuwait, hal. 178 – 179.

Komentar

Postingan Populer