Ijma’
Yaitu kesepakatan para mujtahid dari umat ini pada masa tertentu atas permasalahan syar’i setelah wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Lihat: Raudhatun Nadhir karya Ibnu Qudamah, 1/423; dan Al-Kaukab Al-Munir, 1/219).
Ijma’ adalah salah satu ushul istinbath menurut Imam Ahmad rahimahullahu dan beliau sudah menashkan penggunaannya sebagaimana dinukilkan oleh murid-murid dan pengikutnya.
Al-Qadhi Abu Ya’la rahimahullahu berkata, “Ijma’ adalah hujjah yang qath’i, yang mengharuskan merujuk padanya, serta haram untuk menyalahinya. Dan umat tidak dibenarkan bersepakat atas hal yang salah. Dan Imam Ahmad rahimahullahu telah menashkan dalam riwayat Abdullah dan Abul Harits tentang perkataan sahabat jika mereka berselisih pendapat tidak boleh mengeluarkan putusan berdasarkan perkataan mereka. ‘Apa pendapatmu jika mereka tidak bersepakat, boleh mengeluarkan hukum dari perkataan mereka?’ Ini adalah perkataan yang buruk, perkataan ahli bid’ah. Tidak seharusnya mengeluarkan putusan berdasarkan perkataan sahabat jika mereka berselisih.” (Lihat: Al-‘Uddah fi Ushul Fiqh karya Al-Qadhi Abu Ya’la, 4/1058 – 1059).
Dan ada beberapa riwayat dari Imam Ahmad rahimahullahu yang menunjukkan pengingkarannya terhadap ijma’. Hanya saja ini ditafsirkan oleh beberapa pengikutnya sebagai sebuah sikap wara’ (kehati-hatian) dari Imam Ahmad rahimahullahu dari sikap mengklaim atas hal yang tidak diketahui kejadiannya. Dan sebagaian yang lain menafsirkannya bahwa itu adalah pengingkaran pada seseorang yang tidak memiliki pengetahuan tentang perbedaan yang terjadi di kalangan salaf. Dan ada yang mengatakan: Bahwa ia mengingkari ijma’ yang diklaim terjadi setelah masa sahabat radhiallahu ‘anhum; berdasarkan pertimbangan jauhnya jarak antara berbagai negara dan banyaknya jumlah para mujtahid, sehingga sulit untuk mengetahui perselisihan yang terjadi pada mereka. (Lihat: Al-‘Uddah fi Ushul Fiqh karya Al-Qadhi Abu Ya’la, 4/1058 – 1061; Al-Musawwadah, hal. 316; I’lamul Muwaqqi’in, 1/30; Mafatih al-Fiqh al-Hanbali, 1/371, 372; Ushul Madzhab Imam Ahmad bin Hanbal, hal 351, dan seterusnya).[]
Bersambung …
Sumber: Empat Madzhab Fiqih. Penyusun Unit Kajian Ilmiah Departemen Fatwa Kuwait, hal. 177 – 178.
Belum ada tanggapan untuk "Ushul Istinbath dalam Mazhab Hanbali [2]"
Posting Komentar